PGI Membangun Kemitraan Yang Kritis
Dalam wadah PGI, gereja-gereja di Indonesia yang berkeragaman latar belakang teologis, denominasi, suku, ras, tradisi budaya, dan tradisi gerejawi tidak lagi dilihat dalam kerangka perbedaan yang memisahkan, namun diterima sebagai harta yang berharga dalam memperkaya kehidupan gereja-gereja sebagai tubuh Kristus di Indonesia.
Dalam sidang raya tahun ini, sebagaimana biasanya akan dipilih pengurus baru dan menyusun program tugas pelayanan dan kesaksiannya lima tahun ke depan.
Berhubungan dengan tugas panggilannya, selain menyambut kepemimpinan nasional yang baru sebagai hasil pilihan rakyat, PGI dengan kepengurusan yang baru harus memacu diri untuk bersiap guna mengantisipasi perkembangan zaman, terutama akibat terjadinya Reformasi di tengah-tengah masyarakat bangsa dan negara Indonesia.
Semua mengeluhkan bahwa Reformasi yang berkembang di Indonesia telah kebablasan, melebihi dari yang diharapkan. Semua menjadi terperangah karena tidak siap menerima hal-hal yang tidak diduga.
Hampir di semua bidang kita sebagai bangsa seolah memulai dari titik awal. Hal yang sudah ada dapat diibaratkan harus dimodifikasi kalau tidak diperbaharui, dengan Reformasi seolah-olah semua serbabisa tanpa aturan, bisa berbuat apa saja dan bisa melarang apa saja.
Semua menjadi penguasa seolah sejajar dengan pemerintah dan malah pemerintah seolah tunduk kepada kehendak atau keinginan kelompok tertentu.
Kemitraan yang Kritis. Kondisi yang kurang kondusif di tengah masyarakat dan bangsa sejak Reformasi, seperti banyaknya partai politik, ekonomi yang belum menyejahterakan masyarakat, hubungan antarmasyarakat yang rentan bentrok, serta pembinaan nasionalisme yang mengendor, membuat PGI sebagai bagian tak terpisahkan dari masyarkat, bangsa, dan negara harus mampu meningkatkan tugas pelayanannya sebagai garam dan terang di tengah bangsa yang sedang berbenah diri menghadapi pergaulan internasional, dengan sistem ekonomi dan budaya yang semakin terbuka.
Keberhasilan PGI memelihara hubungan kemitraan yang kritis antara gereja dengan pemerintah selama ini menunjukkan, ada ketegasan sikap dalam menghadapi perkembangan Reformasi, walaupun tidak selalu berhasil membendung persoalan-persoalan mendasar sebagai akibat meningginya pemaksaan kehendak dalam hal-hal tertentu.
Berbobot tidaknya tugas pelayanan PGI ke depan, tentunya tidak bisa lepas dari kepengurusan yang dipersiapkan gereja-gereja anggota. Dari 1950, Dewan Gereja-gereja di Indonesia selalu dipimpin tokoh-tokoh gereja, baik dari sinode maupun dari akademikus.
Untuk masa mendatang pun, kelihatannya ketokohan pengurus PGI baik ketua umum, sekretaris umum, maupun majelis pekerja harian hendaknya tetap mempertahankan tradisi tersebut, dengan meningkatkan kepekaan terhadap perkembangan. Jadi, kemitraan yang kritis semakin diwujudnyatakan, menjadi berani mengatakan ya di atas ya dan tidak di atas tidak.
Gereja-gereja akan terperangkap apabila PGI sempat dipimpin tokoh-tokoh partisan, yang ujungnya menjadi alat kelompok atau golongan dan akan dimusuhi yang lain. PGI selama ini mampu bertahan dengan sikap tidak memihak karena para pengurusnya tidak ada dan tidak pernah ada anggota partai.
Di samping mempersiapkan calon-calon pengurus, menjelang Sidang Raya di Nias, gereja-gereja anggota perlu mempersiapkan program yang bersifat nasional. Sebagai wadah berhimpun gereja-gereja, PGI sudah perlu memikirkan pembagian tugas pelayanan antara gereja anggota dengan PGI.
Barangkali PGI dan PGI wilayah sudah waktunya mengurusi masalah-masalah nasional, melayani pemerintah pusat dan pemda-pemda, seperti hubungan pemerintah dan gereja, kaitan pelayanan gereja di tengah masyarakat melalui sekolah-sekolah dan rumah-rumah sakit milik gereja.
PGI juga memberikan informasi dan penelaahan tentang kebutuhan masyarakat dengan jemat sebagai warga negara yang diwadahi gereja. Dengan demikian, gereja berperan aktif dalam pembuatan peraturan perundang-undangan, mulai perancangannya hingga penerapan.
Jangan seperti selama ini, gereja selalu terdadaki dalam pelaksanaan peraturan perundang-undangan. Kalau tidak bisa menggarami suatu peraturan, paling tidak tahu maksud dan tujuannya sehingga mampu memberikan penjelasan kepada jemaat.
Dengan pembagian tugas pelayanan seperti dikemukakan di atas, di samping tugas pelayanan koinonia, marturia, dan diakonia yang tradisional, sudah waktunya menguatkan bidang-bidang lain.
Akan tetapi, pelayanan yang langsung dan berkaitan dengan jemaat biarlah diambil alih gereja-gereja anggota, seperti urusan kepemudaan dan perempuan. Ini karena setiap gereja anggota telah memiliki program untuk itu sehingga tidak tumpang tindih.
PGI dan PGI wilayah adalah wadah berhimpun gereja-gereja di Indonesia. Jadi, wajar jika PGI berperan dan turut serta meningkatkan harkat dan martabat bangsa, dengan memberikan saran dan pemikiran meningkatkan kesejahteraan masyarakat, ketertiban sosial, dan persatuan Indonesia.
Dengan demikian, PGI sebagai garam dan terang dapat melayani masyarakat pemerintah dan bangsa Indonesia secara maksimal. Untuk itu, diharap agar persiapan menjelang Sidang Raya XVI PGI di Nias berbeda dengan sidang-sidang raya sebelumnya. Para peserta sidang raya, sebagai sidang kristiani, harus mampu menampilkan diri sebagai pertemuan orang-orang beriman. Selamat bersidang raya!
*Oleh: Bachtiar Sitanggang, mantan wartawan dan pengamat sosial/kemasyarakatan.
Sumber: Sinar Harapan