SEJARAH GEREJA SIDANG JEMAAT ALLAH DI INDONESIA
PERMULAAN GEREJA SIDANG JEMAAT ALLAH DI INDONESIA (1936-1951)
Cikal Bakal GSJA di Indonesia
Gereja Sidang-sidang Jemaat Allah belum memiliki sebuah pelayanan resmi di Indonesia hingga tahun 1946, ketika Kenneth George Short, Raymond Arthur Busby, dan Ralph Mitchell Devin kembali ke Indonesia sebagai misionaris yang diutus oleh Division of Foreign Mission of the American General Council of the Assemblies of God. Namun perlu diketahui, tiga orang ini sudah tinggal di Indonesia, jauh hari sebelum pecahnya Perang Dunia II, sebagai misionaris-misionaris swakarsa dan swadana. Memang benar untuk sekian waktu lamanya mereka berkarya dibawah pengawasan Bethel Temple Mission , namun tidaklah benar bila mereka diutus oleh Bethel Temple Mission. Berikut adalah sketsa dari karya perintisan mereka di Indonesia.
Kenneth dan Gladys Short
Pada tahun 1931, Kenneth Short mendaftarkan dirinya sebagai siswa di Sekolah Alkitab milik American Assemblies of God – Southern California Bible School (sekarang- Van Guard University). Dalam masa pendidikannya, Kenneth merasa terpanggil untuk menjadi utusan Injil di Borneo (Kalimantan). Sayang, dia mendapati bahwa American Assemblies of God belum punya pos misi di sana. Itulah sebabnya, dia menghubungi Badan Misi Christian Missionary Alliance (C&MA – Gereja Kemah Injili) yang punya pos misi di sana. Namun, kembali dia harus berjumpa dengan kekecewaan, karena C&MA, tidak dapat memberikan bantuan yang memadai.
Pada saat menginjak tahun kedua di Southern California Bible School, Kenneth berjumpa dengan Gladys Orr, seorang gadis yang baru duduk di tahun pertama. Gladys juga merasa terpanggil untuk pergi dan melayani di Borneo (Kalimantan). Kesamaan panggilan pelayanan inilah yang kemudian membuat mereka menjadi teman dekat. Melalui koneksi Gladys jugalah, Kenneth kemudian menjalin kontak dengan beberapa orang muda dari Bethel Temple, yang beberapa di antaranya adalah para misionaris yang kembali dari Indonesia untuk keperluan cuti pelayanan.
Dengan berlalunya waktu hubungan teman dekat di antara Kenneth dan Gladys meningkat menjadi hubungan sepasang kekasih. Jadi bukan hal yang mengherankan bila tak lama sesudah menjalani prosesi wisuda, Kenneth kemudian meminta agar Gladys menikah dengan dirinya. Namun Gladys menolak karena dia masih harus menyelesaikan studinya. Dua tahun kemudian, ketika Gladys diwisuda, Kenneth datang untuk menagih janji kekasihnya. Namun, Gladys kembali menunda rencana pernikahannya, karena dia merasa mendapat dorongan kuat untuk membantu pelayanan pastoral seorang gembala wanita di pegunungan Kentucky.
Penundaan itu jelas membuat Kenneth kecewa. Namun demikian, semangat Kenneth untuk pergi ke Borneo tetap menyala-nyala. Karena itu, ketika beberapa orang dari Bethel Temple yang akan berlayar ke Hindia Belanda memberinya kesempatan untuk turut serta, Kenneth menerima tawaran itu tanpa ada keraguan sedikitpun.
Pada tahun 1936 Kenneth meninggalkan Amerika Serikat menuju ke Surabaya melalui Jepang. Dari Surabaya, dia berlayar menyeberangi Laut Jawa menuju ke pulau Kalimantan. Akhirnya pada bulan Juni 1936, dia menginjakkan kakinya di Banjarmasin, salah satu kota terpenting di Borneo.
Kenneth hanya tinggal beberapa bulan saja di Banjarmasin. Sesudah itu ia kembali melanjutkan perjalanan ke pedalaman Kalimantan dengan sebuah perahu “klotok” yang bernama “Setiawan”.
Setelah melakukan perjalanan survey ke pedalaman Kalimantan, Kenneth merasa bahwa Allah menyuruhnya tinggal di sebuah kawasan di tepi Sungai Kahayan yang dikenal dengan nama Pulang Pisau.
Selama beberapa bulan Kenneth bersaksi tentang Yesus hampir kepada setiap orang yang ada di kawasan itu. Tapi tak seorangpun bertobat hingga pembaptisan Saridjan di sungai Kahayan. Siapakah Saridjan itu? Saridjan adalah penduduk asli daerah itu.yang bersedia menjadi orang percaya seusai menyaksikan kesembuhan ilahi terjadi di dalam dirinya adiknya. Adik Saridjan buta. Namun ketika Kenneth mendoakannya, mata yang buta itu tercelik.
Langkah Sarijan – menjadi orang Kristen, di kemudian hari diikuti oleh seluruh keluarganya dan beberapa orang yang lainnya. Mereka inilah yang menjadi buah sulung dalam pelayanan Kenneth Short di Hindia Belanda.
Dua tahun kemudian Gladys Orr menyusul Kenneth Short ke Hindia Belanda dan pada bulan Oktober 1938 mereka menikah di Surabaya. Segera sesudah upacara pernikahan mereka kembali ke tempat pelayanan Kenneth di Pulangpisau. Kedatangan Gladys ternyata membawa dampak positif bagi pelayanan yang mereka rintis. Para wanita yang sebelumnya enggan bergabung dalam ibadah yang dipimpin oleh Kenneth, karena alasan kultural , kini bersedia bergabung.
Di tengah-tengah pergumulannya untuk menguasai bahasa setempat dan membantu penggembalaan suaminya. Gladys juga menyediakan waktu untuk membekali kaum wanita di tempat itu dengan ketrampilan menjahit. Dengan adanya pelayanan semacam ini, kehadiran mereka (Kenneth dan Gladys) semakin berarti di daerah itu.
Setahun setelah pernikahan mereka, pada tanggal 23 November 1939, di Kuala Kapuas, Gladys melahirkan seorang bayi lelaki yang bernama David Short. Namun, tak lama sesudah hari yang membahagiakan itu, mereka mendengar kabar bahwa Perang Dunia II telah berkecamuk di Eropa. Pada mulanya mereka berpikir untuk tetap berada di tengah hutan di Pulangpisau dan membiarkan dunia bergejolak dalam pertempuran. Namun karena serangan malaria, mereka harus meninggalkan Pulangpisau dan pergi ke Surabaya untuk berobat.
Sementara berada di Surabaya untuk keperluan berobat, mereka menyempatkan diri untuk mengunjungi Kantor Konsulat Amerika Serikat. Di sinilah, kemudian mereka mendapat masukan agar cepat meninggalkan Hindia Belanda karena tampaknya gelombang peperangan akan segera melanda kawasan Hindia Belanda juga. Akhirnya, demi alasan keamanan ini, Kenneth membawa isteri dan anaknya meninggalkan Indonesia. Mereka kembali ke Amerika Seriakt pada tahun 1940. Namun sebelum mereka kembali ke tanah air mereka, Kenneth menyempatkan untuk berpamitan dengan jemaat Pulang Pisau dan menyerahkan kepemimpinan pastral kepada beberapa jemaat yang menunjukkan kualitas rohani yang baik.
Sesudah tinggal di Amerika Serikat setahun lamanya, dan tidak terdengar kabar bahwa kawasan Asia terkena dampak dari Perang Eropa, keluarga Short memutuskan untuk kembali ke Kalimantan. Mereka berencana untuk menumpang kapal yang akan berlayar pada akhir bulan Desember 1941, Namun sayang, sebelum rencana tersebut terwujud, Perang Pasifik keburu pecah. Jadi, mereka tak punya pilihan lain terkecuali tinggal di Amerika Serikat sampai perang berakhir.
Ralph Mitchell dan Edna Lucy Devin
Ketika Edna Devin merasa terpanggil untuk melayani sebagai utusan Injil, ia sudah menjadi ibu dari lima anak dan isteri dari Ralph Mitchell yang waktu itu masih belum mengalami kelahiran baru. Allah berjanji kepada Edna untuk menyelamatkan seluruh keluarganya dan membawa mereka ke sebuah kepulauan di tengah lautan. Pada tahun 1934, janji tersebut mulai diwujudkan ketika Ralph Mitchell Devin memutuskan untuk menerima Kristus usai mendengar khotbah C.M. Ward di Bethel Temple, Seattle.
Empat tahun kemudian karena dorongan ilahi yang begitu kuat, Ralph Mitchell Devin memutuskan untuk meninggalkan bisnis mereka (furniture) yang amat berhasil di kota Seattle dan pergi ke Hindia Belanda sebagai utusan Injil. Mula-mula Ralph mencoba melamar sebagai utusan Injil di badan misi C&MA yang diketahuinya telah memiliki pos-pos misi di Hindia Belanda. Namun permohonan Ralph ditolak karena alasan usia (sudah terlalu tua) dan keluarga (terlalu banyak anak) dan diragukan kemampuannya untuk menguasai bahasa setempat.
Mendengar penolakan itu, meski kecewa, Ralph tidak putus asa. Dia memutuskan untuk membawa keluarganya ke Hindia Belanda sebagai misionaris swadana (melayani dengan pembiayaan sendiri). Maka, pada tahun 1938, keluarga Devin meninggalkan Seattle menuju Hindia Belanda.
Sewaktu mereka meninggalkan Seattle, Edna masih menderita penyakit kulit yang amat mengganggu. Namun, pada bulan Maret 1938, sesaat sebelum kapal yang membawa mereka berlabuh di Makasar, terjadi sebuah mukjizat. Penyakit kulit yang menimpa Edna ketika mereka meninggalkan Amerika Serikat sirna begitu saja.
Selama berada di Makasar, Keluarga Devin tinggal di rumah Robert A. Jaffray. Setelah tinggal beberapa hari di sana, mereka melanjutkan perjalanan ke Ambon. Kali ini mereka ditemani oleh seorang pria dari Seattle yang bernama Floyd C. Brown. Bagi keluarga Devin, Floyd adalah seorang penolong yang amat mereka butuhkan, karena sebelum mereka sanggup berbicara dalam bahasa setempat, Floydlah yang menjadi penerjemah bagi mereka. Floyd dengan setia menemani pelayanan keluarga Devin selama enam bulan lamanya di Maluku sebelum kembali ke Amerika Serikat.
Segera sesudah tiba di Maluku, keluarga Devin mendirikan semacam kantor pusat kegiatan penginjilan di Ambon. Mula-mula mereka bekerjasama denagn Job Silloy, seorang gembala dari De Pinkstergemeente in Nederlandsch Oost Indie (GPdI). Namun kerjasama ini hanya bertahan enam bulan lamanya karena Ralph dan Edna merasa kurang cocok dengan praktek-prakterk ibadah dan keyakinan doktrinal dari gereja tersebut, seperti:
- Menggunakan anggur beralkohol dalam perjamuan kudus
- Membaptiskan orang dengan formula yang diyakini oleh penganut “Jesus Only“
- Melarang wanita terlibat dalam pelayanan mimbar.
Setelah berpisah dari Job Siloy, Ralph Devin memutuskan untuk mendirikan Bethel Indies Mission pada bulan September 1938. Dua tahun kemudian, pada tanggal 24 April 1940, organisasi ini menerima pengakuan dari pemerintah Hindia Belanda. Beberapa orang yang duduk dalam kepengurusan organisasi ini:
Ketua : Ralph Mitchell Devin
Wakil Ketua : Raymond Arthur Busby
Sekretaris : Wijma
Ralph M. Devin menggunakan rumahnya di Kampung Mardika sebagai kantor pusat dari Bethel Indies Mission. Di samping berfungsi sebagai kantor pusat organisasi, rumah itu juga berfungsi sebagai tempat ibadah.
Para tetangga keluarga Devin kebanyakan orang Muslim. Namun demikian mereka bersikap baik dan tidak memusuhi keluarga Devin. Ironisnya, sesama orang Kristen dari Gereja Protestan Maluku, cenderung memusuhi mereka, karena mereka menganggap keluarga Devin menyebarkan ajaran sesat.
Setelah pindah beberapa kali , Bethel Indies Mission akhirnya bisa membangun sebuah bangunan gereja yang sederhana di sebuah kawasan yang disebut Soos Laan, di kota Ambon. Dinding dari bangunan tersebut dibuat dari kayu, sementara atapnya dibuat dari daun pohon sagu.
Pada tahun 1939, Ralph Devin menyelenggarakan sebuah kebaktian kebangunan rohani di kota Ambon. John Sung, seorang penginjil karismatik dari daratan Tiongkok diundang untuk penjadi pembicara tunggal. Gaya berkhotbah John Sung yang amat menarik dan karunia kesembuhan yang menyertai kebaktian yang dipimpinnya menarik ratusan orang untuk datang. Tidak sedikit dari antara orang-orang yang hadir bertobat dan menyerahkan hidupnya bagi Kristus. Beberapa orang yang layak disebut di sini karena mereka nantinya menjadi jemaat mula-mula dari gereja yang digembalakanoleh Ralph M. Devin adalah keluarga Buthe Berhitu, keluarga Mataheru dan keluarga Tan.
Di samping menggembalakan jemaat di Ambon, Ralph Devin juga mengunjungi dan memberitakan Injil di beberapa pulau lain seperti Saparua, Seram, Tujuh dan Bacan. Namun, karena pecahnya Perang Pasifik, aktivitas penginjilan mereka terpaksa dihentikan. Ralph membawa keluarganya keluar dari Hindia Belanda pada bulan Januari 1942, beberapa saat sebelum Jepang merebut kekuasaan dari Belanda. Sebelum pergi, Ralph menyerahkan kepemimpinan Bethel Indies Mission kepada The Tjoan Tjoe.
Raymond dan Beryl Busby
Raymond Busby lahir dan besar di dalam sebuah keluarga yang tekun menjalankan altar keluarga pada pagi dan malam hari. Meskipun begitu, dia baru merasa benar-benar mengalami pengalaman kelahiran baru ketika ia berusia 19 tahun. Tak lama sesudah menerima pengalaman itu, Busby menikah seorang gadis yang bernama Beryl Hooker.
Baik Raymond maupun Beryl merasakan panggilan untuk menjadi utusan Injil di Hindia Belanda. Beryl, malahan, mendapat pengalaman rohani yang khusus. Ketika berusia 9 tahun, melalui visi, dia melihat seorang wanita dengan pakaian yang “aneh”. Beberapa tahun kemudian, ketika dia menginjakkan kakinya di Tanah Karo, Sumatera Utara, dia terkejut pada saat melihat para wanita mengenakan pakaian-pakaian yang serupa dengan pakaian yang dikenakan oleh wanita yang muncul dalam visi yang diterimanya.
Meski menerima panggilan khusus semacam itu, keluarga Busby terus menunda rencana keberangkatan mereka ke Hindia Belanda karena mereka amat mengkhawatirkan putera tunggal mereka, Buddy Ray – mereka tidak ingin Buddy menderita penyakit daerah tropis. Itulah sebabnya mereka memutuskan untuk menunda keberangkatan mereka hingga Buddy tamat sekolah. Namun, secara tiba-tiba Buddy wafat pada usia 9 tahun. Pengalaman pahit ini akhirnya membawa kembali keluarga Busby pada panggilan misi ke Hindia Belanda.
Kurang dari setahun setelah wafatnya Buddy, Raymond mengundurkan diri dari pekerjaannya sebagai pegawai di kantor pos Seattle. Bersama Beryl, isterinya, ia kemudian meninggalkan Seattle menuju Hindia Belanda sebagai misionaris swakarsa dan swadana.
Pada tahun 1939, keluarga Busby tiba di Medan. Karena kedekatan hubungan dengan Bethel Temple Mission, setiba di Hindia Belanda, keluarga Busby melayani di bawah payung organisasi ini. Namun hubungan kerja semacam ini tak bertahan lama, karena Busby memutuskan untuk bergabung dengan Bethel Indies Mission. Seperti yang telah dicantumkan di atas, Busby akhirnya menjadi orang kedua terpenting dalam organisasi ini.
Tidak banyak yang diketahui mengenai aktivitas keluarga Busby sebelum pecahnya Perang Pasifik., terkecuali bahwa dia pernah berjuang untuk merintis dan mengembangkan gereja di Sumatera itu. Busby juga sempat beberapa kali berkunjung dan melayani sebuah jemaat Gereja Pentakosta di Jl.Pecenongan 54, Jakarta yang digembalakan oleh sahabatnya, misionaris dari Bethel Temple, Seattle – Richard van Klaveren..
Kembali ke Indonesia
Ketika Perang Pasifik tengah berkecamuk dengan hebatnya, Ralph Mitchell Devin dan Raymond Arthur Busby menggabungkan dirinya sebagai bagian dari pelayan Injil di Northwest District Council of the American Assemblies of God. Mereka kemudian diminta untuk melayani di daerah Seattle. Ralph Mitchell Devin menggembalakan sebuah gereja yang bernama White Center Assembly of God; sementara Raymond Busby melayani sebagai gembala sidang West Assembly of God sembari mengajar paruh waktu di Northwest Bible Institute.
Kenneth Short, yang telah memegang beslit kependetaan Assemblies of God sejak tahun 1935, juga sempat menggembalakan sebuah gereja kecil di Buckey, Washington, sebelum diminta oleh kantor pusat American Assemblies of God untuk menangani penerbitan majalah misionaris.
Pada tanggal 14 Agustus 1945, kekuatan Bala Tentara Jepang menyerah kepada pasukan Sekutu, Tiga hari kemudian, pada tanggal 17 Agustus 1945, Soekarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Belanda yang sebelumnya menjajah negeri ini, tidak rela melihat daerah jajahannya yang subur dan kaya lepas begitu saja dari tangannya. Mereka ingin mengambil kembali tanah jajahan mereka. Di sini kemudian timbul benturan kepentingan dengan pihak Indonesia yang tak ingin di jajah kembali. Maka, terjadilah apa yang dikenal dengan nama Perang Revolusi (1945-1950).
Justru dalam tahun-tahun yang penuh pergolakan itulah, tiga keluarga perintis Gereja Sidang Jemaat Allah, keluarga Short, Devin, dan Busby kembali ke Indonesia. Kali ini mereka tidak berangkat sebagai misionaris-misionaris swakarsa dan swadana lagi, melainkan sebagai misionaris-misionaris resmi yang diutus oleh Division of Foreign Mission of American Assemblies of God.
Masa Sebelum Berlangsungnya Konggres I
(1946-1951)
Dari tahun 1946 hingga 1951, Bethel Indies Mission adalah nama resmi bagi apa yang kita kenal sekarang sebagai Gereja Sidang Jemaat Allah. Dalam konggres I di Jakarta, 1-5 Januari 1951, semua peserta konggres setuju untuk mengubah nama Bethel Indies Mission menjadi the Assemblies of God in Indonesia. Apa yang terjadi dalam kurun waktu itu (1946-1951) akan dikisahkan secara ringkas dalam lembaran-lembaran di bawah ini.
Di Maluku
Pada tanggal 19 April 1946, keluarga Devin kembali ke Ambon, di tengah suasana kota yang porak poranda akibat perang. Kantor pusat misi mereka telah menjadi puing-puing, beberapa jemaat telah tewas atau meninggalkan gereja namun ada beberapa yang masih setia berbakti bersama dengan beberapa pemuda Australia. Pertemuan dengan jemaat sisa inilah yang mendatangkan sukacita yang tak terhingga di hati keluarga Devin.
Gereja di Kate-Kate
Ralph Devin akhirnya dapat membeli sebuah perkebunan dengan sebuah bangunan luas berdiri di dalamnya dari seorang Belanda yang bernama van Aart. Perkebunan ini terletak di sebuah tempat di seberang teluk Ambon, yang dikenal orang dengan nama Kate-kate. Setelah melakukan sedikit renovasi terhadap gedung yang ada di sana keluarga Devin memanfaatkan bangunan tersebut sebagai rumah tinggal dan gereja.
Sejak awal, gereja di Kate-kate menghadapi banyak kesulitan. Karakter ibadahnya yang dinamis dan ekspresif mengusik perasaan jemaat-jemaat yang berasal dari gereja tradisional. Sebagai reaksinya, mereka bukan saja mengejek jemaat Kate-kate, melainkan menganggu ibadah mereka dengan lemparan-lemparan batu. Malahan beberapa orang dari antara mereka ada yang sempat memukuli jemaat Kate-kate yang hendak beribadah.
Meski dianiaya, jemaat Kate-kate pantang mundur. Mereka menghadapi kesulitan itu dengan doa dan sukacita. Mereka percaya, jika mereka bertekun di tengah kesulitan, gereja mereka akan bertumbuh sebagaimana gereja mula-mula di atas bumi ini bertumbuh subur di tengah-tengah aniaya orang Yahudi. Dan memang jemaat Kate-kate bertumbuh! Beberapa orang dari jemaat mula-mula di Kate-kate yang layak disebut di sini adalah keluarga Mataheru, keluarga Thenu, keluarga Gasperz, keluarga Tupamahu, Keluarga Taihutu dan Keluarga Sopemena.
Gereja di Soos Laan
Enam mil perjalanan laut dengan kapal motor, atau 12 mil perjalanan darat dengan mobil dari Kate-kate, ada sebuah gereja lain yang didirikan oleh Bethel Indies Mission. Gereja itu terletak di kawasan Soos Laan. Ralph Devin merintis dan menggembalakan gereja ini sebelum pecahnya Perang Pasifik. Ketika dia kembali ke Amerika Serikat, The Tjoan Tjoe diserahi tanggung jawab untuk memimpin Bethel Indies Mission dan menggembalakan gereja ini.
Setelah keluarga Devin kembali ke Ambon, pada tahun 1946, The Tjoan Tjoe menyerahkan kembali kepemimpinan Bethel Indies Mission dan penggembalaan gereja di Soos Laan kepada Ralph Devin. The Tjoan Tjoe, kemudian harus pindah ke Makasar, karena tuntutan pekerjaan. Di sanalah dia kemudian bekerjasama dengan Nyonya Overbeek mengembangkan gereja-gereja Gemeente van God di Sulawesi Selatan.
Ratusan orang dilaporkan hadir dalam ibadah hari minggu di gereja Soos Laan. Tidak sedikit dari antara mereka mendengar Injil untuk pertama kalinya. Edna Devin, dalam sebuah artikel yang diterbitkan oleh the Missionary Challenge, memberikan gambaran sekilas tentang apa yang terjadi di kota Ambon dan mengapa gereja di Soos Laan bertumbuh.
Pemerintah membawa para pekerja dari pulau-pulau yang lain. Tiap kali datang jumlahnya 500 orang. Orang-orang ini biasanya akan tinggal di Ambon enam bulan lamanya, setelah itu mereka pulang dan digantikan oleh 500 orang yang lainnya. Biasanya ada dua atau tiga kali pergantian sekaligus di Ambon ini. Ambon juga menjadi tempat “ngepos” orang-orang pribumi yang baru diangkat menjadi tentara dan sedang menjalani masa training, di samping menjadi tempat bagi 500 pemuda dari Belanda. Kami bersaksi, berkhotbah, membagikan traktat dan mengunjungi mereka.
Memberitakan Injil ke Pulau-Pulau Lain
Sebelum pecahnya Perang Pasifik, keluarga Devin memberitakan Injil di beberapa pulau yang berada di sekitar Ambon. Namun, mereka harus menghentikan aktivitas mereka sebelum terbentuknya jemaat-jemaat yang memiliki gedung gereja yang permanen karena Perang keburu meletus.
Ketika kembali ke Ambon pada tahun 1946, mereka memulai kembali untuk menjangkau pulau-pulau digugusan kepulauan Maluku. Kali ini mereka tidak bekerja sendiri. Sebuah keluarga muda, Roswell B dan Avelone Caveness, tiba di Ambon pada bulan September 1947. Mereka kemudian ditempatkan di Labuha, sebuah lokasi strategis untuk menyebarkan Injil di kawasan pulau Bacan, Maluku Utara.
Pada tahun 1949, Edna Devin, dibantu beberapa jemaat wanita seperti Mia Hattu dan Ila Manuhutu mengusahakan perintisan jemaat di pulau Saparua. Luar biasanya, mereka sanggup membuka tempat ibadah di desa Tiow Saparua. Sayang, karena terjadinya pemberontakan RMS atau Republik Maluku Selatan (1950), karya perintisan mereka harus dihentikan.
Sekolah Alkitab Maluku
Sadar bahwa seluruh Maluku tak mungkin dijangkau oleh Injil melalui karya mereka dan rekan sekerja mereka dari Amerika Serikat, keluarga Devin memutuskan untuk membuka Mollucan Bible Institute di Kate-kate pada tanggal 4 Maret 1948. John Tinsman, menantu dari Ralph dan Edna Devin, ditunjuk menjadi Direktur Sekolah. Sekolah Alkitab ini menawarkan program pelatihan Pelayan Injil selama dua tahun. Sebelas orang mendaftarkan dirinya sebagai siswa-siswi angkatan pertama. Dosen-dosen yang mengajar pada waktu itu adalah: Ralph dan Edna Devin, John Tinsman, dibantu oleh Berta Thenu, yang bertindak sebagai manajer kantor plus penerjemah bahan-bahan pengajaran dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia.
Pemberontakan Republik Maluku Selatan
Pada tanggal 26 April 1950, dr. Soumokil memproklamasikan kemerdekaan Republik Maluku Selatan dengan wilayah kekuasaan mencakup wilayah Ambon, Seram, Buru dan Banda. Presiden Republik Indonesia, waktu itu, Ir.Soekarno memandang tindakan Soumokil ini sebagai aksi makar terhadap pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia.Itulah sebabnya, ia segera mengirim pasukan ke Ambon untuk memadamkan tindakan makar dari Soumokil dan kawan-kawannya. Akibatnya, terjadi pertempuran sengit selama beberapa bulan lamanya di Ambon dan pulau-pulau yang ada di sekitarnya. Kota Ambon hampir rata dengan tanah, seperlima dari total pasukan Republik Indonesia (20.000 jiwa), separuh dari kekuatan militer RMS (500 jiwa), dan 5000 orang sipil tewas atau mengalami luka-luka.
Ketika berkecamuk perang RMS ini, keluarga Devin sedang cuti di Amerika Serikat. R. B. Cavaness yang ada di Maluku pada waktu itu mengambil alih kepemimpinan gereja di Soos Laan. Sebelum terjadinya malapetaka RMS di Ambon itu, R.B. bertutur tentang bagaimana dalam sebuah ibadah, ada fenomena bahasa roh plus interpretasinya yang mengandung pesan agar jemaat menyiapkan dirinya menghadapi malapetaka yang akan segera menimpa Ambon. Yang luar biasa, sehari setelah itu, John Tinsman, yang baru tiba dari Kate-kate bercerita kepada R.B bahwa di Sekolah Alkitab mereka juga ada fenomena bahasa roh plus interpretasinya, dengan pesan yang sama persis dengan apa yang didengar R.B. di gereja Soos Laan.
Karena pemerintah Indonesia mengharuskan semua orang asing keluar dari Ambon, R.B. dan Tinsman mengirim keluarga mereka ke Amerika Serikat. Mereka sendiri akhirnya terpaksa meninggalkan Ambon, ketika pasukan Republik Indonesia merebut kota Ambon dari tangan pemberontak R.M.S. Namun sebelum meninggalkan Ambon, mereka telah menyerahkan kepemimpinan gerejawi di sana ke tangan seorang jemaat yang bernama Paul Mataheru.
Pemberontakan R.M.S boleh dikata melumpuhkan segala aktivitas Bethel Indies Mission. Gereja di Soos Lan habis terbakar; Mollucan Bible Institute harus ditutup dan perjalanan misi penginjilan ke pulau-pulau dalam gugusan kepulauan Maluku harus dihentikan karena alasan keamanan.28
Kembali ke Ambon dengan M.V. Evangel
Ralph Devin melihat perlunya sebuah kapal motor yang cepat dan kuat untuk memberitakan Injil di pulau-pulau di kawasan gugusan kepulauan Maluku dan sekaligus dapat difungsikan sebagai “sekolah Alkitab terapung” untuk melahirkan lebih banyak pemimpin gereja yang handal di nusantara. Jadi, selama masa cutinya di Amerika Serikat, dengan persetujuan Division of Foreign Mission of the American Assemblies of God, dan bantuan keuangan dari Speed the Light, ia membeli sebuah kapal motor dengan panjang sekitar 300 kaki yang diberi nama “Evangel“.
Pada tanggal 8 Agustus 1950, “Evangel”, dengan 12 awak kapal plus penumpang meninggalkan Seattle dan mulai melakukan pelayaran yang penuh dengan tantangan, menyeberangi samudra Atlantik menuju Indonesia. Kapten dari kapal “Evangel” adalah Robert Brougham, menantu dari Ralph Devin.
Meski harus dihantam badai yang hebat di tengah perjalanan, kehilangan kemudi, dan mengalami kerusakan mesin, “ Evangel” akhirnya bisa tiba dengan selamat di Ambon. Namun ketika membuang sauh di Ambon, para awak kapal harus berhadapan dengan masalah yang cukup serius karena mereka dicurigai oleh Pemerintah Republik Indonesia sedang menyelundupkan senjata bagi orang-orang Belanda. Untuk beberapa saat mereka ditahan, dan “Evangel” disita untuk sementara waktu. Tapi untunglah mereka kemudian dilepas dan diijinkan kembali untuk membawa “Evangel” berlayar menuju ke Jakarta. Pada tanggal 1 Januari 1951. “Evangel;” akhirnya tiba dengan selamat di Jakarta.
Di Kalimantan
Sesudah berakhirnya Perang Pasifik, Keluarga Short kembali ke Kalimantan, ditemani oleh pasangan pengantin baru, John C. dan Shirley Tinsman. Mereka kemudian berusaha membangun kembali apa yang keluarga Short rintis sebelum pecahnya Perang Pasifik. Namun kali ini merka mendapati bahwa melayani di Kalimantan tidak semudah masa-masa sebelumnya. Bahkan melakukan ibadahpun dilarang. Di jalan-jalan mereka melihat orang-orang Indonesia mengangkat senjata melawan pasukan Belanda yang hendak menganeksasi Indonesia kembali. Kesulitan-kesulitan semacam ini memaksa John dan Shirley Tinsman keluar dari Kalimantan dan kembali ke Ambon di mana ladang pelayanan tidak seberat di bumi Kalimantan. Keluarga Short sendiri memutuskan untuk bertahan di Kalimantan hingga mereka dipindahtugaskan oleh Division of Foreign Mission ke Manila, Filipina untuk menjadi representative dari American Assemblies of God di Far East Broadcasting Company (FEBC).
Sebagai penerus karya mereka, datang keluarga Carlblom yang tiba di Kalimantan tak lama sesudah John dan Shirley Tinsman kembali ke Maluku. Situasi yang kacau akibat perang tidak memungkinkan mereka membuat kemajuan besar dalam pelayanan Bethel Indies Mission di Kalimantan. Namun demikian, mereka sempat membuka sebuah pelatihan Alkitab pada tahun 1947. Kelas perdana cukup diminati, terbukti dengan adanya 20 orang pendaftar. Dua dari dua puluh orang tersebut masih tercatat sebagai pelayan Injil GSSJA yang telah melayani lebih dari kurun waktu lima puluh tahun. Mereka adalah Hermogenes Pahu dan Jans Ngurun.
Pada tahun 1950, keluarga Carlblom meninggalkan Kalimantan untuk keperluan cuti di Amerika Serikat. Peter Urens, seorang utusan Injil dari Selandia Baru, melanjutkan karya mereka di sana.
Di Jakarta, Bogor dan Bandung
Pada tahun 1946, keluarga Busby kembali ke Indonesia. Turut menyertai mereka, Maragareth Brown, seorang siswi dari North West Bible Institute. Nona Brown memang mendapatkan panggilan ilahi untuk menjadi seorang utusan Injil. Namun ia berpikir, dengan adanya kelainan jantung yang dideritanya, Allah memberinya semacam dispensasi untuk mengabaikan panggilan ini. Namun, suatu hari dia mengalami mukjizat ketika kelainan jantungnya lenyap secara tiba-tiba. Kejadian inilah yang mendorongnya mengikuti keluarga Busby pergi ke Indonesia.
Segera sesudah kedatangan mereka di Jakarta, Raymond diminta untuk menggembalaka sebuah gereja Pentakosta di Jalan Pecenongan 54 Jakarta. Gereja ini sebelumnya dirintis dan digembalakan oleh Richard van Klaveren, seorang utusan Injil dari gereja Bethel Temple, Seattle. Namun karena wafatnya Richard dan kemudian Stein van Klaveren, gereja itu tidak punya gembala tetap. Para diaken dari gereja tersebut akhirnya memutuskan mengundang Busby agar dapat mengisi jabatan gembala sidang. Alasannya, cukup masuk akal. Sebelum pecah Perang Pasifik, ketika masih bernaung di bawah payung Bethel Temple, Busby, yang mengenal dan berteman baik keluarga van Klaveren, beberapa kali mengunjungi dan berkhotbah di gereja jalan Pecenongan 54 ini.
Namun ada sedikit masalah berkenaan dengan undangan ini. Raymond kini tidak lagi bernaung di bawah Bethel Temple; ia melayani di bawah payung Bethel Indies Mission. Sementara itu jemaat yang akan digembalakannya masih terkait dengan Bethel Temple – dalam hal ini bernaung di bawah Pinkster Gemeente (GPdi). Masalah ini akhirnya terselesaikan ketika jemaat Pecenongan setuju untuk menggabungkan diri dalam wadah Bethel Indies Mission.
Raymond Busby menggembalakan Gereja di jalan pecenongan 54 Jakarta dari tahun 1946 hingga tahun 1951. Selama penggembalaannya, gereja menjalankan dua kali ibadah setiap hari minggu; minggu pagi jam 10:00, dengan kehadiran rata-rata 120-150 orang dan jam 17:00 dengan kehadiranrata-rata 100 orang.
Jakarta Bible Institute
Pada tanggal 9 September 1946mRaymond dan Beryl Busby mendirikan Batavia atau Jakarta Bible Institute di Jalan Pecenongan 54 Jakarta. Pernyataan misi dari sekolah ini adalah: “Menyebarkan dan Meningkatkan Gaya Hidup Kristen Sejati dan Menyediakan Para Pelayan Injil dengan cara meningkatkan pengenalan pada Firman Allah.” Sekolah ini menawarkan beberapa program: (1) Diploma Pelayanan (program 3 tahun belajar); (2) Sertifikat pelayanan (program 10 bulan belajar); (3) Program khusus untuk mereka yang ingin belajar alkitab dan Pelayanan namun tidak mengambil ujian (audit). Dosen-dosen perdana di sekolah ini adalah: Raymond Busby (yang juga bertindak sebagai pimpinan sekolah), Beryl Busby, Margareth J. Brown dan Ouw Eng Guan. Kelas perdana, yang disebut kelas “Pioneer” terdiri atas 30 siswa.
Sejak tahun 1948, Jakarta Bible Institure telah menghasil banyak pelayan Injil Beberapa di antara mereka sempat berkarya langsung di bawah bimbingan Raymond Busby. The Boen Thay dan Ow Eng Guan, sebagai contoh, menolong Busby untuk menggembalakan gereja di Jalan Pecenongan 54. Beberapa alumni yang lain mulai merintis jemaat baru. Iwan Brata, sebagai contoh, menolong seorang misionaris Norwegia, Bjerva, mendirikan jemaat di kota Bogor; Lie Soen Lip, merintis jemaat di jalan Petjah Kulit, Jakarta.
Di Bogor
Pada tahun 1949, Bjerva, seorang misionaris Norwegia, tiba di Bogor. Sebelumnya, dia melayani di Cina. Namun ketika Komunis mengambil alih kekuasaan di negeri itu, dia terpaksa harus keluar dari Cina. Sementara ada di Bogor, ada kerinduan yang kuat di hati Bjerva untuk merintis sebuah jemaat. Maka, dia membuka sebuah pertemuan doa di Jl. Gunung Gede, Bogor. Sadar bahwa ia tak fasih berbahasa Indonesia, Bjerva minta bantuan Iwan Brata, alumnus dari Jakarta Bible Institute, untuk membantu pelayanannya. Pelayanan mereka berkembang dengan baik, terbukti dengan lebih banyak orang datang dalam pertemuan doa mereka.
Karena jumlah jemaat bertambah terus, dirasa ada kebutuhan gembala sidang yang baik. Pelayan-pelayan Injil yang ada dirasa tidak mampu memenuhi kebutuhan ini. Bjerva, sebagai contoh merasa bahwa dirinya hanya sekedar pengunjung dan tidak fasih dalam berbahasa Indonesia; sementara Iwan Brata, meski fasih berbahasa Indonesia, dirasa kurang memiliki banyak pengalaman untuk menggembalakan gereja yang sedang bertumbuh itu. Akhirnya, Leonard Lanphear, seorang misionaris yang baru datang ke Indonesia, diminta untuk datang dan menggembalakan jemaat di Bogor.
Lanphear menggembalakan jemaat di Bogor dari bulan Desember 1949 hingga Maret 1951. Dia dibantu oleh Bjerva dan Iwan Brata. Pada tahun 1950, mereka menyewa sebuah rumah di Jalan Semboja 50 Bogor yang mereka jadikan sebagai tempat pertemuan permanen untuk ibadah mereka. DI tempat itulah hari ini berdiri sebuah gedung gereja yang dikenal dengan nama GSJA Semboja.
Di Bandung
Pada akhir tahun 1947 ada sebuah persekutuan Pentakosta yang disebut dengan nama Rehobot Kerk memutuskan untuk berafiliasi dengan Bethel Indies Mission. Persekutuan yang terletak di jalan Kabupaten 22, Bandung itu digembalakan oleh seorang mantan prajurit KNIL yang bernama E.L. Corbet. Sebelum berafiliasi dengan Bethel Indies Mission ini, persekutuan ini tampaknya menjadi bagian dari Pinkster Zending.
Sayang, pada tahun 1951, hubungan affiliasi ini berakhir, ketika Corbet memutuskan untuk berpisah dari the Assemblies of God of Indonesia (nama baru bagi Bethel Indies Mission) dan memilih untuk mandiri (independent). Alasan di balik pemisahan ini adalah adanya perbedaan pandangan mengenai beberapa kebijakan organisasi. Sayang, detil-detilnya agak kabur hingga kita tak tahu pasti apa yang sebenarnya terjadi. Apalagi sumber-sumber primer yan ada (semacam Corbet sendiri dan Raymond Busby) praktis sudah meninggal dunia.
Rehobot Kerk pada akhirnya berkembang menjadi salah satu denominasi Pentakosta yang cukup kuat di Bandung. Namanya kini bukan lagi Rehobot Kerk, melainkan Gereja Rehobot. Meski telah mandiri, Gereja Rehobot masih menjalin hubungan baik dengan GSSJA, terbukti dengan diutusnya beberapa calon pelayan Injilnya untuk menempuh pendidikan teologi di sekolah teologi GSSJA.
Di Sumatera
Sesudah tertunda selama beberapa bulan karena alasan keamanan, keluarga Busby pada akhirnya berhasil kembali ke Sumatera pada tahun 1948. Di sana mereka berjumpa dengan K.L. Tobing, yang melanjutkan pelayanan mereka selama berlangsungnya Perang Pasifik dan Kemerdekaan. Mengenang perjumpaan itu, Busby menulis:
Sungguh suatu pertemuan yang membahagiakan. Tempat di mana kamu beribadah lebarnya hanya sekitar 8 kaki lebih sedikit, Kami begitu sibuk dan membeli kursi-kursi murah yang kemudian kami pelitur ulang dan di bagian depan kami membangun sebuah mimbar tempat pendeta berkhotbah. Memang itu adalah sebuah tempat yang kecil, namun cukup untuk memuat jemaat kecil yang hadir di sana.
Dari jemaat inilah di kemudian hari lahir banyak gereja di kawasan Sumatera Utara.
Di Makasar, Sulawesi Selatan
Pada permulaan tahun 1935, Anna Overbeek, merintis jemaat De Gemeenten van God di jalan Mardekaya 135 Makasar. Sebelum pecah Perang Pasifik, gereja bertumbuh dengan baik karena pelayanan karismatik Anna, yang dikarunia Allah dengan karunia bernubuat, mahrifat, dan kesembuhan ilahi.
Sesudah Perang Pasifik berakhir, Thung Goan Soei, salah seorang pelayan Injil yang membantu Anna Overbeek, menyarankan agar mereka membentuk denominasi Pentakosta yang baru. Anna tidak menolak, namun dia lebih suka untuk tetap berada dalam wadah De Gemeenten van God. Tak begitu lama, pada tahun 1946, Thung Goan Soei kemudian mendirikan sebuah denominasi dan gereja baru yang disebut Gereja Segala Bangsa di Makasar. Anna sendiri, pada tahun itu juga, menyerahkan kepemimpinan jemaat di Jl. Merdekaya 135 kepada The Tjoan Tjoe, yang baru pindah dari Ambon. Kemudian bisa diduga bahwa jemaat ini akhirnya terserap dalam wadah Bethel Indies Mission.
Pergantian Nama dari Bethel Indies Mission ke Assemblies of God of Indonesia
Konggres pertama dari Bethel Indies Mission berlansung di Jakarta dari tanggal 1 hingga 5 Januari 1951. Mereka yang hadir pada waktu itu membuat dua keputusan penting. Pertama, mereka setuju untuk mengubah nama organisasi dari Bethel Indies Mission menjadi the Assemblies of God of Indonesia. Kedua mereka memilih Ralph Mitchell Devin sebagai ketua umum; Raymond Arthur Busby sebagai wakil ketua umum dan Leonard Lanphear sebagai sekretaris umum.
Nama baru ini segera didaftarkan ke pemerintah Republik Indonesia. Akhirnya, tanggal 29 Januari 1951, Pemerintah Republik Indonesia secara resmi mengakui status hukum dari Assemblies of God of Indonesia, yang dulu dikenal dengan nama Bethel Indies Mission. Entitas hukum dari organisasi ini diteguhkan oleh keputusan Departemen Kehakiman Republik Indonesia nomor J.A. 8/11/16, bertanggal 10 Pebruari 1951
Sumber : Gereja Sidang-Sidang Jemaat Allah dalam Lintasan Sejarah, Oleh : Pdt. Gani Wiyono
gsja.org