Berdemokrasi Dalam Ekonomi Yang Berkeadilan
TEMA BULANAN : “Berdemokrasi Dalam Ekonomi Yang Berkeadilan”
TEMA MINGGUAN : “Etos Kerja”
Bahan Alkitab: Amsal 31:10-31; 2 Tesalonika 3:10-12
ALASAN PEMILIHAN TEMA
Tema yang diusung dalam perenungan kita sebagai satu persekutuan orang percaya di GMIM untuk minggu ini, yaitu: “Etos Kerja”. Dalam Kamus bahasa Indonesia etos kerja berarti “semangat kerja yang menjadi ciri khas dan keyakinan seseorang atau kelompok”. Kata Etos sendiri berasal dari bahasa Yunani; akar katanya adalah ethikos, yang berarti moral atau menunjukkan karakter moral. Dalam bahasa Yunani, etos berarti sebagai keberadaan diri, jiwa, dan pikiran yang membentuk seseorang. Bahkan dapat dikatakan bahwa etos pada dasarnya adalah tentang etika. Jadi bicara etos kerja berarti juga menunjuk pada etika kerja.
Nilai-nilai etika yang dikaitkan dengan etos kerja seperti rajin, bekerja keras, berdisiplin tinggi, menahan diri, ulet, dan tekun. Nilai-nilai ini juga ada pada suku-suku bangsa di negara kita. Walaupun disadari bahwa pada kenyataannya, nilai-nilai etos ini belum sepenuhnya membawa kemajuan seperti yang diharapkan, sebagaimana terjadi di beberapa Negara Asia seperti Jepang, Korea Selatan yang mengalami kemajuan yang pesat, karena memiliki etos kerja yang optimal, yang tidak kalah bila dibandingkan dengan Negara barat.
Etos kerja dapat dibangun dari nilai-nilai keyakinan iman berdasarkan kesaksian Alkitab, yang menjadi nilai dasar etos kerja sebagai orang Kristen atau warga gereja, yang akan mengembangkan semangat kerja dengan nilai-nilai ke kristenan yang memacu kita untuk semakin maju dalam membangun kehidupan “Berdemokrasi dalam Ekonomi yang Berkeadilan.”
PEMBAHASAN TEMATIS
Pembahasan Teks Alkitab (Exegese)
Amsal 31:10-31
Kitab Amsalberisi kumpulan ucapan ringkas dan nasihat prilaku yang mendidik orang muda. Amsal dalam bahasa Ibrani מִשְלֵי ; ‘’misyle/masyal’’ singkatan dari ‘’misyle syelomoh’’ atau amsal-amsal Salomo.Kitab Amsal merupakan kumpulan tulisan dengan aneka ragam gaya yang berbeda-beda.Keanekaragaman ini menunjukkan ruang lingkup yang luas dari masyal.
Kitab Amsal 31, menggambarkan hikmat itu dalam sebuah karakter seorang isteri yang lebih berharga dari pada permata. Lebih lagi bahwa seluruhnya berasal dari seorang perempuan, yakni ibu dari raja Lemuel (31:1).
Gambaran seorang perempuan ini bukan sekedar untuk menentukan pola atau standar khusus bagi kaum perempuan, melainkan untuk menggambarkan hikmat secara universal, yang berguna dalam semua bidang kehidupan, sehingga hikmat begitu mulia sebagai anugerah Allah dalam diri manusia.
Ayat 10-13,mengemukakan hakekat seorang Isteri yang cakap adalah lebih berharga dari pada permata. Kecakapan berkaitan dengan nilai-nilai kerohanian (spiritualitas), seperti: dapat dipercaya (jujur, tulus dan setia), membawa keberuntungan (sukacita, damai, intinya menjadi berkat), tidak berbuat jahat sepanjang umurnya, senang bekerja (diligentandnotlazy.) dan mandiri.
Ayat 14-21,seorang isteri diumpamakan kapal-kapal saudagar, menunjuk pada seorang yang menjadi wadah/ sarana berkat Allah. Ia mengurus rumah tangganya dengan baik, termasuk ada pembagian tugas kerja bersama. Pribadi yang berjuang terus dalam mengembangkan sumber pendapatan, bersikap hemat, memanfaatkan waktu dengan baik, dan memiliki sikap murah hati yang suka membantu orang dalam kesusahan atau miskin. Seorang yang tidak kenal menyerah, pemberani dan melindungi keluarganya dari berbagai kesulitan.
Ayat 22-25,Memiliki sikap dan konsep diri yang baik, itu nyata dalam ayat 22, “ia membuat bagi dirinya permadani.” Ia berkarya bukan hanya dalam keluarga tetapi juga dalam masyarakat, termasuk membawa kehormatan bagi suaminya di tengah masyarakat (ayat 23). Memiliki rasa tanggung jawab mengembangkan kehidupan bersama dalam keluarga, dengan terus berkarya dan berwirausaha memajukan ekonomi keluarga dengan tetap memiliki karakter dan integritas diri yang baik, yang digambaran dengan “pakaiannya adalah kekuatan dan kemuliaan” (ayat 25). Dari apa yang digambarkan itu menunjukan suatu kehidupan yang tangguh secara rohani maupun ekonomi, Itu makna dari dengan ungkapan, “ia tertawa tentang hari depan.”
Ayat 26-27, keteladanan seorang perempuan bukan sekedar menguasai seni berbicara, tetapi setiap perkataannya yang lemah lembut mengandung hikmat dan pengajaran. Ia meneladankan perkataan dalam tindakan atau memiliki integritas, yaitu apa yang diucap itu juga yang dikerjakan, dan segala tanggung jawab keluarga dikerjakannya dengan rajin.
Ayat 28-31, Figur seorang ibu yang dibanggakan oleh anak-anak dan dipuji suami, ditegaskan dalam bagian ini. Ia disebut berbahagia, dan istri yang memiliki kecantikan melebihi kecantikan lahiria yang sia-sia, karena ia adalah seorang yang takut akan TUHAN. Dan itulah bentuk kesaksian hidup bagi banyak orang, dan selayaknya mendapatkan penghargaan dan pujian.
2 Tesalonika 3:10-12
Ketika surat ini ditulis, Paulus masih bekerja di Korintus bersama Silas dan Timotius (2Tes 1:1; bd. Kis 18:5). Rupanya ketika diberi tahu mengenai penerimaan surat pertama dan beberapa perkembangan baru di tempat itu, Paulus tergerak untuk menulis surat kedua ini. Gambaran jemaat dalam 2 Tesalonika, nampaknya diperhadapkan dengan penganut Gnostik yang menyampaikan kedatangan hari Tuhan (parousia) telah tiba (2:2), dan ajaran yang tidak lagi peduli pada daging (sarx) karena menganggap telah disempurnakan dalam roh. Ajaran demikian membuat jemaat kemudian lebih senang dengan cara hidup yang malas-malasan, tidak bekerja, sibuk dengan hal-hal yang tidak berguna dan itu berarti hidup tidak tertib.
Dengan suratnya Paulus mendorong jemaat untuk tetap giat dalam bekerja. Seperti halnya Paulus yang tetap bekerja sebagai seorang tukang tenda, dan tetap giat mengabarkan Injil Yesus Kristus. Jemaat diajarkan agar dalam penantian akan kedatangan Tuhan tidak hanya berdoa tetapi juga rajin bekerja (ora et labora), serta tertib atau disiplin dalam hidup ini. Paulus bahkan menegaskan dalam 2 Tesalonika 3:10b bahwa orang tidak mau bekerja janganlah ia makan. Paulus menegur dengan keras bahwa orang yang tidak bekerja “janganlah ia makan.” Pernyataan ini dimaksudkan orang yang demikian harus bertobat dari kemalasannya. Ia memper ingatkan dan menasihati supaya semua orang percaya berusaha atau berjuang agar hidup mandiri, bandingkan dengan pernyataan, “makan makanannya sendiri” (ayat 12).
Makna dan Implikasi Firman
Pesan firman TUHAN dalam Amsal 31:10-31 dan 2 Tesalonika 3:10-12, memberi nilai-nilai imani yang sangat kuat dalam upaya memahami dan mengembangkan etos kerja kristiani, dalam rangka mendorong kemajuan ekonomi jemaat (pribadi/keluarga dan persekutuan).
Ada beberapa nilai etos kerja yang dapat dimaknai, sesuai pokok pembacaan, diantaranya rajin, disiplin, jujur, dapat dipercaya dan tidak melakukan yang jahat. Secara umum nilai etos kerja tidak dapat lepas dari prinsip ora et labora, yang memahami bahwa kerja adalah sebuah bentuk ketaatan kepada firman TUHAN. Untuk itu semangat kerja haruslah menjadi sebuah tindak lanjut dari kehidupan yang rajin berdoa/beribadah kepada TUHAN. Etos kerja juga me nyangkut kemitraan antara laki-laki dan perempuan, yang sama-sama dalam memperjuangkan kesejahteraan.
Etos kerja setiap orang Kristen mestinya memiliki rasa tanggung jawab atas apa yang dikerjakan, bahwa itu semua dipertanggungjawabkan kepada TUHAN. Pekerjaan “tidak asal jadi”, tapi harus baik dan berkualitas, dengan memperhatikan prestasi kerja yang terus berkembang.
Kerja memang penting, tetapi kerja yang mengabaikan ibadah kepada TUHAN, bukan lagi sebuah kasih karunia Allah buat manusia untuk hidup sejahtera, melainkan menjadi sebuah hukuman (menjadi budak kerja).
Tidak dapat disangkal bahwa ada banyak masalah yang berkaitan dengan kerja, apalagi kerja itu sudah menjadi tujuan utama dalam rangka mengejar harta dan kekayaan. Bila demikian dampaknya akan sangat buruk, bisa saja bahwa ia kerja tapi tidak lagi memperhatikan kesehatannya, keluarganya dan sesamanya. Kalau begitu maka kerja cenderung membuat orang menjadi jahat, maka ia akan menjadi mamon (cinta uang), tidak jujur, bahkan korupsi dll.
Membangun etos kerja yang baik dalam jemaat adalah tanggung jawab gereja, dalam rangka memerangi kemalasan, meningkatkan semangat wirausaha, mendorong kemandirian secara ekonomi, menumbuhkan kearifan dalam mengelola keuangan yang didasarkan pada spiritualitas dan persekutuan hidup umat TUHAN, yang juga membantu warga gereja untuk berperan aktif dalam mewujudkan kehidupan berdemokrasi dalam ekonomi yang berkeadilan.
sumber : sinodegmim.org