levitra

Dr. Benny Jozua Mamoto SH, MSi “TUHAN MASIH MEMBERI WAKTU”

Published on Jun 21 2014 // Berita Kesaksian

Tuhan masih memberi waktu

tokoh masyarakat

karya Benny J. Mamoto

Di tengah malam

aku duduk seorang diri

Di beranda rumahku di Tompaso sambil merenung.

hawa dingin menusuk tulang-tulangku

yang semakin menua.

Hujan gerimis jatuh di atap seng

menimbulkan bunyi gemericik riuh rendah.

Suara kodok dan jangkrik bersaut-sautan,

berpadu dalam keharmonisan malam.

Pikiranku menerawang jauh.

kesibukan kerja sehari-hari

membuat aku tidak punya waktu

untuk merefleksi diri.

Dalam perenunganku malam itu,

kudapati

ternyata selama ini aku hanya berpikir

tentang diriku sendiri.

aku hanya berharap orang lain

memperhatikanku,

menghargaiku,

menyanjungku,

memujiku….

Semuanya terarah padaku.

Tiba-tiba aku tersadar…..

mengapa aku jadi seperti itu.

Orang tuaku tidak mengajarkan seperti itu.

Alkitab tidak mengajarkan seperti itu.

Mengapa semakin jauh perjalananku

aku semakin jauh dari nasehat orang tuaku

dan ajaran agamaku.

Ya Bapa ampuni aku……

Aku tak layak disebut anak Mu.

Engkau Tuhanku mengajarkan aku

untuk melayani sesama,

membantu sesama,

menghargai sesama,

dan mengasihi sesama.

Engkau berikan teladan

bagaimana berkorban untuk sesama.

Aku coba mengingat..…

Apa yang pernah aku berikan kepada sesamaku,

Kapan aku memberikan perhatian

dan penghargaan atas orang-orang

yang pernah membantu aku….

Ternyata sangat sedikit.

Sayup sayup kudengar

alunan musik kolintang

dari pengeras suara desa tetangga kanonang.

begitu indah dan merdu.

aku menikmatinya.

aku hanyut dalam alunan lagu

o ina nikeke yang dimainkan.

Ketika musik kolintang berhenti,

kembali aku tersadar….

aku telah menikmati alunan kolintang,

tapi aku tidak tahu siapa yang menciptakannya,

siapa yang membuat alatnya….

oh sungguh naif….

aku terhibur olehnya,

tapi aku tidak mau tahu

siapa yang berjasa menciptakannya.

Aku juga teringat maengket yang begitu indah,

Musik bia yang begitu unik,

Kabela yang begitu menarik,

Musik Bambu yang begitu merdu,

demikian juga kabasaran, tari jajar, masamper…….

semuanya mengagumkan

dan aku menikmatinya.

namun, lagi-lagi aku tidak tahu siapa penciptanya,

siapa yang mengembangkannya

oh… aku jadi trenyuh .

Hujan gerimis semakin deras,

petir menyambar pohon kelapa di belakang rumahku.

aku terhentak

terpaku aku

denyut jantungku berdebar kencang.

Sadarlah aku

rupanya aku belum dipanggil Nya.

Tuhan masih beri aku waktu untuk hidup…..

Angin bertiup kencang…

hujanpun mulai reda.

kembali aku dalam ketenangan suasana hati.

kembali aku merenung,

Apa maksud Tuhan memberi aku waktu.

Saat itulah tiba-tiba muncul dalam pikiranku……

Aku harus segera melakukan sesuatu.

Aku harus merubah sikapku,

selagi Tuhan masih memberi waktu.

aku harus mengubah sikapku.

aku harus mengubah orientasiku.

aku harus melayani,

aku harus bisa menghargai sesamaku,

aku harus memberi diri untuk kemajuan daerahku…..

dan aku harus berbuat sesuatu untuk seni budaya

yang telah menghiburku.

Seni budaya yang telah menaruh andil

dalam membentuk karakter bangsaku.

Aku teringat SMS yang dikirim oleh temanku Odameng…

Dia ingin ketemu aku,

ingin menyampaikan sesuatu.

Oleh karena kesibukanku,

aku menunda pertemuanku dengan dia.

Keesokan harinya aku mendengar berita duka…

seperti disambar petir rasanya…..

temanku sudah dipanggil Sang Khalik

beberapa jam yang lalu.

perasaanku sedih, kalut, tidak karuan.

Ada rasa menyesal,

Basah kelopak ini,

mengapa aku menunda pertemuan itu.

Aku tidak tahu apa yang akan disampaikannya.

Semua menjadi misteri.

tapi aku dengar dari kerabatnya

bahwa dia punya ide

mementaskan festival songkok….

entah itu bercanda,

tapi ternyara dia memiliki ide yang ingin disampaikan.

Kembali aku tenggelam dalam kesedihan

bila mengingat satu persatu

pejuang-pejuang kebudayaan di panggil Sang Khalik

belum lama berselang aku kehilangan

Om Owik Ngantung, maestro Kabasaran

Sayang, aku belum sempat mendokumentasikan

karya-karyanya.

Hari semakin larut,

gerimis masih turun.

rasa kantuk semakin menggelayut.

sebelum masuk ke kamar tidur

aku sudah bertekad untuk mewujudkan niatku….

Aku ingin memberi sesuatu

kepada teman-temanku pendahuluku

sebagai wujud penghargaanku.

akan kuajak teman-temanku,

saudara-saudaraku warga Sulawesi Utara

untuk bersama-sama menundukkan kepala

memberi hormat dan penghargaan

kepada para pahlawan kebudayaan,

pejuang-pejuang kebudayaan Sulawesi Utara tercinta.

Hari yang indah ini,

dalam suasana kita menyongsong kelahiran

Sang Juruselamat kita,

Kuingin menyentuh dan menyapa

Saudara-saudaraku, Pahlawan Kebudayaan

dan Pejuang Kebudayaan bersama keluarganya.

Hai teman-temanku,

saudara-saudaraku,

Tuhan masih memberi waktu……

berbuatlah untuk Sulawesi Utara…

berbuatlah untuk bangsa kita tercinta Indonesia,

demi masa depan yang damai dan sejahtera.

Masuk dalam peraduanku…

Aku tertidur lelap.

Dalam mimpiku,

aku menyaksikan dimana-mana

anak-anak muda Sulawesi Utara

dengan sukacita memainkan kolintang,

menari maengket, mahamba bantik,

tari jajar, kabasaran,

memainkan musik bia,

musik bambu dengan merdu.

Oh betapa indahnya karunia Tuhan itu.

betapa kuatnya seni budaya itu eksis di tanah kelahirannya.

Semua orang mengakuinya.

tiba-tiba mimpiku terputus

karena kokok ayam jago bersuara keras

dibelakang kamar tidurku.

Aku bangun pagi,

hawa dingin masih menusuk.

aku melihat matahari pagi mulai muncul di ufuk timur.

aku teringat mimpiku yang indah itu……

Akankah mimpi itu menjadi kenyataan?

*Sambutan Dr. Benny J. Mamoto, yang direfleksikan melalui pembacaan puisi yang ditulisnya dalam malam penganugerahan Seni dan Budaya Sulut 2007.

sumber : Halaman Penggemar Dr. Benny Jozua Mamoto SH, MSi (BENITO)
Budayawan Sulawesi Utara

Leave a comment

Subscribe to our RSS Feed! Follow us on Facebook! Follow us on Twitter! Visit our LinkedIn Profile!